A.
Pengertian
Model pembelajaran individual
Model
pembelajaran individual adalah model pembelajaran yang menekankan pada
pengembangan konsep diri
setiap individu. Hal
ini meliputi pengembangan proses
individu dan membangun serta mengorganisasikan dirinya sendiri. Model pembelajaran memfokuskan pada
konsep diri yang
kuat dan realistis untuk
membantu membangun hubungan yang produktif dengan orang lain
dan lingungannya. Model ini bertitik
tolak dari teori Humanistik, yaitu berorientasi pada
pengembangan individu. Perhatian
utamanya pada emosional peserta didik dalam mengembangkan
hubungan yang produktif dengan lingkungannya.
Model ini menjadikan
pribadi peserta didik
mampu membentuk hubungan harmonis
serta mampu memproses
informasi secara efektif. Tokoh humanistik adalah
Abraham Maslow (1962),
R. Rogers, C. Buhler
dan Arthur Comb. Dengan demikian,
model ini diusahakan untuk memungkinkan siswa atau peserta didik dapat memahami
keberadaan dirinya sendiri
secara baik, bertanggung jawab,
dan lebih kreatif
untuk mencapai kualitas
hidup yang lebih baik. Fase Penerapan
Model Pembelajaran Personal
Kepada Peserta didik. Dalam penerapan
model pembelajaran personal
kepada peserta didik memiliki beberapa fase atau tahapan.
Menurut Rogers (1986) ada lima fase dalam model pembelajaran individual, yaitu
:
1. Mengartikan
situasi yang sudah ada, yaitu guru memberikan motivasi agar siswa bebas
berekpresi.
2. Mengembangkan wawasan,
siswa mendiskusikan masalah
dan guru
3. memotivasi
dan membantu penyelesaian masalah siswa.
4. Mengeksplorasi
Masalah, siswa dimotivasi untuk mendifinisikan masalah
5. yang
dihadapi. Guru menerima dan mengklarifikasi ide siswa.
6. Merencanakan
dan membuat keputusan, guru mengklarifikasi berbagai kemungkinan keputusan yang
diambil siswa. Siswa merencanakan tindakan awal sesuai dengan keputusan yang
diambil.
7. Mengintegrasikan,
siswa menambah pengetahuan yang lebih baik
dan mengembangkan beberapa tindakan yang positif. Guru memberikan
motivasi.
Jadi, model personal
lebih menekanan pada
kesadaran pribadi dalam proses pembelajaran.
B.
Tujuan model pembelajaran individual
Model-model yang termasuk dalam
kategori model ini umumnya berkaitan dengan individu dan pengembangan diri
sendiri. Model-model ini menekankan pada pengembangan individu untuk menjadi
pribadi yang utuh, percaya diri, dan
kompeten. Model-model ini juga berusaha membantu siswa dalam memahami dirinya
sendiri dan tujuan tujuannya, mengembangkan cara-cara mengajar diri sendiri.
Ada banyak model pengajaran personal yang dikembangkan oleh para konselor,
terapis, dan individu-individu lain yang tertarik dalam mensimulasikan
kreativitas dan ekspresi diri individu.
Menurut Syaharudin (2012;1) model
pembelajaran individual memiliki beberapa tujuan. Pertama, menuntun siswa untuk
memiliki kekuatan mental yang lebih baik dan kesehatan emosi yang lebih memadai
dengan cara mengembangkan kepercayaan diri dan perasaan realistis serta
menumbuhkan empati pada orang lain. Kedua, meningkatkan proporsi pendidikan
yang berasal dari kebutuhan dan aspirasi siswa sendiri, melibatkan semua siswa
dalam proses menentukkan apa yang akan dikerjakannya atau bagaimana cara ia mempelajarinya.
Ketiga, mengembangkan jenis-jenis pemikiran kualitatif tertentu, seperti
kreativitas dan ekspresi pribadi.
Tujuan utama kategori model ini
adalah :
1.
Meningkatkan harga
diri siswa
2.
Membantu siswa
memahami dirinya secara utuh
3. Membantu siswa mengenali
emosinya dan menjadi lebih sadar bagaimana emosi tersebut bisa mempengaruhi
terhadap aspek-aspek lain dalam perilaku mereka.
4.
Membantu mereka
mengembangkan tujuan tujuan belajar
5.
Membantu siswa
mengembangkan rencana meningkatkan kompetensinya
6.
Meningkatkan
kreativitas dan gaya permainan siswa
7. Meningkatkan
keterbukaan siswa dan keterbukaan siswa pada pengalaman-pengalaman baru
C.
Prinsip dan Karakteristik Umum Model pembelajaran
individual
Beberapa prinsip dan
karakteristik umum model pembelajaran individual adalah sebagai berikut:
a.
Pembelajaran
berpusat kepada siswa (student centered). Siswa diberikan kebebasan
berkreativitas mencapai tujuan pembelajarannya. Bahkan dalam teori model
pembelajaran humanis murni tujuan pembelajaran tidak dinyatakan dan disamakan.
Semua siswa diberikan kebebasan menentukan tujuan yang diinginkannya.
b.
Pembelajaran
berfokus pada pengembangan mental belajar dan penajaman kreativitas siswa.
Mental belajar berupa kesadaran diri, konsep diri, pemahaman diri tentang
segala potensinya dan memahami cara mengembangkannya sesuai dengan gaya belajar
yang disukainya.
c.
Kegiatan
pembelajaran harus dikemas secara fleksibel, menarik dan tidak membosankan.
Kegiatan pembelajaran dilakukan sepenuh hati. Karena tidak ada paksaan dan
tidak ada standar baku yang disamakan kepada semua siswa. Sehingga
masing-masing siswa akan menampilkan performanya masing-masing.
d.
Guru berperan
sebagai fasilitator dan pengarah proses belajar siswa
e.
Siswa diberikan
kebebasan dalam menentukan cara, metode, strategi bahkan bahan ajar dan
lingkungan belajarnya sesuai dengan keinginan dan gaya belajarnya masing-masing
yang penting tujuan umum pembelajaran tercapai
f.
Proses penilaian
berfokus pada produktivitas
karya kreatif siswa.
Sesuai
dengan minat dan bakat serta potensi yang dikembangkannya. Proses evaluasi
tidak mengenal standar yang disamakan antara semua siswa sebagaimana proses
evaluasi dalam teori pembelajaran berhavioristik.
D.
Jenis – Jenis Model pembelajaran individual
Ada beberapa model pembelajaran
yang menurut para ahli dikategorikan kedalam rumpun model pembelajaran
individual. Secara umum tergambar dalam tabel berikuut ini:
Tabel 1. Rumpun model
pembelajaran individual
No
|
Model
pembelajaran
|
Tokoh
|
Tujuan
|
1
|
Pengajaran
non – direktif
|
Carl Rogers
|
Penekanan
pada pembentukan kemampuan untuk perkembangan pribadi dalam arti kesadaran
diri, pemahaman diri, kemandirian, dan
konsep diri.
|
2
|
Latihan
Kesadaran
|
Fritz Peris,
Willian
Schultz
|
Meningkatkan kemampuan
seseorang untuk eksplorasi diri dan
kesadaran diri. Banyak
menekankan pada perkembangan
kesadaran dan pmehaman antar pribadi.
|
3
|
Sinetik
|
Wilian
Gordon
|
Perkembangan pribadi dalam
kreativitas dan pemecahan masalah
kreatif
|
4
|
Sistem-sistem
Konseptual
|
Davit Hunt
|
Dirancang untuk meningkatkan
kekomplekan dan keluwesan
pribadi
|
5
|
Pertemuan
Kelas
|
William
Glasser
|
Perkembangan pemahaman diri dan tanggung jawab kepada diri
sendiri dan kelompok sosial
|
Sumber
: Rusman, (2014:143).
Berbicara lebih
jauh tentang model pembelajaran ini, Joyce dan Weil (1986) mengemukakan
beberapa key ideas yang perlu kita pahami sebagai komponen suatu model
pembelajaran :
1.
Sintaks (Syntax) daripada model, yaitu
langkah-langkah, fase-fase, atau urutan kegiatan pembelajaran. Jadi sintaks itu
adalah deskripsi model dalam action. Setiap model mempunyai sintaks atau
struktur model yang berbeda-beda
2.
Prinsip Reaksi (Principle of Reaction) yaitu reaksi
pembelajar atas aktivitas-aktivitas pebelajar. Jadi prinsip reaksi itu akan
membantu memilih reaksi-reaksi apa yang efektif dilakukan pebelajar.
3.
Sistem-Sosial (social system)
Sistem
sosial ini mencakup, 3 (tiga) pengertian utama yaitu :
•
deskripsi
rnacam-macam peranan pembelajar dan pebelajar
•
deskripsi hubungan
hirarkis/ otoritas pembelajar dan pebelajar,
•
deskripsi
macam-macam kaidah untuk mendorong pebelajar.
Sistem sosial
sebagai unsur model agaknya kurang berstruktur dibandingkan dengan unsur
sintaks.
4.
Sistem Pendukung (Support System)
Sistem pendukung ini sesungguhnya merupakan kondisi yang
dibutuhkan oleh suatu model. Jadi, bukanlah model itu sendiri. Sistem pendukungnya
bertolak dari pertanyaan-pertanyaan dukungan apa yang dibutuhkan oleh suatu
model agar tercipta lingkungan khusus. Dalam hubungan ini, sistem pendukung itu
berupa kemampuan/keterampilan dan fasilitas-fasilitas teknis. Sistem pendukung
diturunkan dari dua sumber yaitu kekhususan-kekhususan peranan pembelajar dan
tuntutan pebelajar. Dalam proses pembelajaran umumnya membutuhkan transkrip
atau deskripsi peristiwa pembelajaran bagi pengguna model-model tertentu. Di
samping itu dibutuhkan pula analisis kesulitan pelajaran dan analisis
kesulitan-kesulitan khusus penggunaan model. Sebagaimana telah dikemukakan
bahwa setiap model mempunyai kegunaan utama di samping kegunaan-kegunaan
lainnya yang dapat diterima.
5.
Dampak instuksional
(Instructional effects)
Dalam hal ini beberapa model didesain untuk tujuan-tujuan
yang amat spesifik dan beberapa lainnya dapat dipergunakan secara umum.
Penggunaan model manapun harus dapat memberi efek belajar bagi pebelajar. Efek
belajar ini dapat berupa direct atau instructional
effects atau berupa indirect. Instructional
effects adalah pencapaian tujuan sebagai akibat kegiatan- kegiatan
instruksional. Biasanya beberapa pengetahuan Biasanya beberapa
pengetahuan/ketrampilan.
6.
Dampak Pengiring (nurturant effect)
Nurturant effect
adalah efek-efek pengiring yang ditimbulkan model karena pebelajar menghidupi (living in) sistem lingkungan belajar,
misalnya kemampuan berpikir kreatif sikap terbuka dan sebagainya.
Penjelasan masing-masing model pembelajaran individual
1.
Model Pengajaran Tak Terarah
Model pengajaran
tidak terarah didasarkan pada karya Carl Rogers (1961,
1971) dan beberapa penggagas lain
yang berkontribusi pada model ini. Kemunculan model ini diawali oleh sikap pelajar terhadap konseling tak terarah di mana
klien yang memiliki kapasitas untuk menghadapi hidupnya secara konstruktif
diberi kebebasan sepenuhnya untuk menentukan dan memilih hidupnya dengan tetap
dibimbing dan diarahkan. Karena itu, dalam pengajaran tidak terarah, guru harus menghormati kemampuan siswa dalam mengidentifikasi masalah
mereka sendiri dan merumuskan sebuah solusi. Model tidak terarah lebih fokus pada pengasuhan dan bimbingan pada siswa
dibanding mengontrol urutan proses pembelajaran. Model ini menekankan pada pengembangan gaya pembelajaran yang efektif dan
jangka panjang serta pengembangan karakter pribadi yang kuat dan bisa diarahkan. Model ini tidak memiliki instruksi jangka pendek ataupun sasaran materi
pembelajaran. Guru dalam model ini
haruslah sabar dan tidak memaksakan adanya hasil secara cepat dan sesegera
mungkin.
a. Sintaks
Tahap 1 : Identifikasi Masalah
Personal
a)
Guru mendorong siswa mengungkapkan perasaannya dengan bebas.
Tahap 2 : Penelusuran Masalah
a)
Siswa dilarang untuk menjabarkan masalah guru
b)
Guru menerima dan mengapresiasi perasaan siswa
Tahap 3 : Pengembangan Wawasan
a)
Siswa mendiskusikan masalah
b)
Guru menyemangati siswa
Tahap 4 : Perencanaan dan Pembuatan
Keputusan
a)
Siswa merencanakan rangkaian proses pengambilan keputusan
b)
Guru menjelaskan keputusan yang akan diambil
Tahap 5 : Keterpaduan
a)
Siswa mendapat wawasan lebih mendalam dan mengembangkan tindakan yang lebih
positif.
b)
Guru bekerja sebagai penyemangat
Tahap 6 : Tindakan Diluar Wawancara
a)
Siswa mulai melakukan tindakan yang positif
b. Sistem Sosial
Sistem sosial dalam
strategi tak terarah mengharuskan guru berperan sebagai fasilitator atau reflektor. Namun hal yang paling
penting untuk ditekankan adalah bahwa siswa
bertanggung jawab pada pengelolaan proses
interaksi atau kontrol ; Adanya pembagian
kewenangan antara siswa dan guru. Norma-norma dalam konteks ini menyangkut ekspresi perasaan secara bebas
dan kemandirian pikiran serta perilaku. Reward untuk perilaku atau hasil tertentu dan utamanya hukuman tidaklah
diterapkan dalam strategi ini. Rewards
dalam wawancara tidak terarah lebih subtil dan bersifat instrinsik penerimaan pemahaman dan empati dari guru.
Pengetahuan mengenai diri sendiri dan rewards
psikologis yang diperoleh dari
kepercayaan diri kepercaya dirian yang dikembangkan
sendiri oleh siswa.
c. Peran atau Tugas Guru
Tugas guru didasarkan
pada upaya menggiring siswa pada ranah penelitian. Guru sebisa mungkin menjangkau siswa, berempati pada kepribadian masalah yang dihadapi, dan merespons dengan berbagai cara untuk membantu siswa menjabarkan
masalah dan perasaan yang bertanggung jawab kepada tindakan mereka,
dan merencanakan sasaran-sasaran dan
metode-metode dalam mencapai karakteristik siswa.
d. Sistem Dukungan
Sistem dukungan dalam strategi ini berbeda menurut fungsi wawancara.
Jika sebuah sesi wawancara adalah untuk menegosiasikan kontrak akademik, maka hal-hal yang diperlukan
dalam pembelajaran terarah diri atau self directed learning
harus tersedia dan sesuai. Ketika wawancara mencakup proses konseling menyangkut masalah masalah
perilaku,
harus ada sumber-sumber yang dapat membantu
guru melakukan hal semacam ini. Dalam kedua kasus tersebut situasi one-to-one masyarakat susunan ruang
yang memudahkan siswa untuk berpindah disepanjang penjuru kelas dan untuk
melakukan aktivitas yang berbeda serta menyediakan waktu yang luas dan tidak
terburu-buru dalam membebaskan sebuah masalah dengan cukup mendetail.
Untuk wilayah kurikulum akademik, semisal membaca, menulis pemain kesusastraan, dan ilmu sosial membutuhkan deretan materi yang cukup memadai.
e. Pengaruh
Karena aktivitas
pengajaran tidaklah diarahkan secara detail, namun ditentukan oleh siswa, maka pengaruh lingkungan sangat penting di sini. Model ini akan berpengaruh berdasarkan keberhasilan siswa dalam
mengembangkan diri yang lebih efektif. Karena itulah, model ini bisa dianggap sebagai aktivitas pengasuhan secara keseluruhan. Namun, model ini lebih
bergantung pada efek yang dirasakan dalam lingkungan tidak terarah dibanding
memperhatikan capaian kontrol dan skill melalui aktivitas yang sudah dirancang khusus sebelumnya.
2.
Latihan kesadaran
Pembelajaran latihan kesadaran ini ditemukan oleh Fritz
Perls dan Wilian Schultz. Ia menekankanpentingnyan pelatihan interpersonal
sebagai sarana peningkatan kesadaran pribadi.
Khoiru,
Sofan, dkk (2011) menjelaskan ada enpat tipe perkembangan yang dibutuhkan untuk
merealisasikan potensi diri secara utuh, yaitu.
a.
Fungsi tubuh,
b.
Fungsi personal,
termasuk di dalamnya akuisi pengetahuan dan pengalaman, kemampuan berpikir
logis dan kreatif dan integrasi intelektual.
c.
Perkembangan
interpersonal, dan
d.
Hubungan individu
dengan institusi sosial, organisasi sosial dan budaya masyarakat.
Landasan
prosedur pembelajaran ini adalah teori encounter. Penjelasan yang terdapat
dalam teori ini merupakan penjelasan seputar metode untuk meningkatkan
kesadaran hubungan antarmanusia yang didasarkan atas keterbukaan, kejuuran,
kesadaran diri, tanggung jawab, perhatian terhadap perasaan diri sendiri dan
orang lain, dan berorientasi pada keadaan sekarang. Pelaksanaan pembelajaran
ini tidak menghabiskan waktu terlalu banyak. Pelaksanaannya dapat dilakukan
dalam bentuk diskusi, keterbukaan dan kejujuran merupakan hal yang penting
dalam pelaksanaannya. Penerapan pembelajaran ini dapat meningkatkan
perkembangan emosi.
Penerapan pengajaran latihan kesadaran
Sampai saat ini, masih sangat sedikit sekolah atau guru
yang menerapkan model ini. Permainan-permainan sederhana dapat dilakukan untuk
keperiuan ini. Model ini juga dapat dilakukan sebagai selingan yang tidak
memakan waktu terlalu banyak. Dalam pelaksanaan diskusi, keterbukaan dan kejujuran
menjadi sangat penting. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model ini dapat
meningkatkan perkembangan emosi.
Prosedur pembelajaran pelatihan kesadaran hanya meliputi dua tahap, yaitu:
Fase
|
Kegiatan
|
Fase
satu
-
Menyampaikan tugas.
-
Menyelesaikan tugas.
|
Mengamati
aliran udara, membuat alat ukur kecepatan udara dan menggunakan alat ukur
yang dibuat untuk mengukur kecepatan aliran udara.
|
Fase
dua.
- Mendiskusikan hasil pembuatan alat ukur.
- Menggunakan alat ukur untuk
mengukur kecepatan aliran udara dan
kecepatan aliran air di alam terbuka, kecepatan aliran angin dari kipas
angin, dan kecepatan aliran air di kran
- Mempresentasikan
Hasil
|
- Membuat alat ukur kecepatan
udara dari bahan sederhana dan menentukan berapa besar alairan kecepatan
udara di alam terbuka dan menghitung kecepatan aliran udara yang di hasilkan
oleh kipas angin.
- Menganalisis fungsi alat
dan dan kemampuan alat yang di buat dapat dapat di gunakan untuk mengukur
kecepatan aliran udara, aliran air dan batas kemampuan alat untuk dapat
digunakan untuk mengukur kecepatan aliran udara
di alam terbuka, kecepatan aliran air di sungai dan mengukur kecepatan aliran
udara dari kipas angin dan kecepatan aliran air dari kran air di rumah.
- Mempresentasikan hasil yang diperoleh.
|
3.
Sinetik
Menurut Aunurrahman (2013; 162) sinektik merupakan salah
satu model pembelajaran yang didesain oleh Gordon yang pada dasarnya diarahkan
untuk mengembangkan kreativitas. Gordon menggagas model sinektik dalam empat
gagasan yang intinya. Menampilkan perubahan pandangan konvensional tentang
kreativitas.
Pertama, kreativitas penting di dalam melaksanakan
aktivitas sehari-hari. Ia menekankan bahwa kreativitas sebagai bagaian dari
keseharian dari kehidupan kita. Bahwa setiap individu selalu menghubungkan
proses kreativitas dengan kegiatan yang ia lakukan. Karena kreativitas dilihat
sebagai bagian dari pekerjaan keseharian. Maka model sinektik ini dirancang
untuk mendorong kapasitas pemecahan masalah, mengekspresikan kreatif empati dan
dorongan untuk memperkokoh hubungan-hubungan sosial.
Kedua, proses kreatif tidak sepenuhnya merupakan hal yang
misterius. Banyak aspek pada proses kreatif yang dapat dijelaskan dan bahkan
sangat mungkin bagi seseorang untuk mengarahkan dirinya sehingga mampu
mendorong berkembangnya kreativitas. Hal ini menurut Gordon bertentangan dengan
pandangan konvensional.
Ketiga, temuan tentang kreatif berlaku sama pada berbagai
bidang, baik seni, ilmu pengetahuan, enginering, yang dicirikan dengan kesamaan
proses intelektualnya. Ide-ide ini tentu berbeda dengan kebanyakan pendapat
umum yang memandang bahwa kreativitas hanya identik dengan dunia seni. Dalam
dunia sain dan enginering lebih dikenal dengan istilah penemuan (invention).
Keempat, bahwa penemuan/berpikir kreatif (creative thinking) individu pada
prinsipnya tidak berbeda.
Penerapan model sinetik dalam proses pembelajaran menurut
Aunurrahman (2013;163) dilakukan dalam enam tahap:
a.
Guru menugaskan
untuk siswa untuk mendeskripsikan situasi yang ada sekarang
b.
Siswa mengembangkan
berbagai analogi, kemudian memilih satu diantara analogi tersebut kemudian
mendeskripsikan dan menjelaskannya secara mendalam
c.
Siswa menjadi
bagian dari analogi yang dipilihnya pada tahap sebelumnya
d.
Siswa mengembangkan
pemikiran dalam bentuk deskripsi- deskripsi dari yang dihasilkan pada tahap dua
dan tiga, kemudian menemukan pertentangan-pertentangan
e.
Siswa menyimpulkan
dan menentukan analogi-analogi tidak langsung lainnya
f.
Guru mengarahkan
agar siswa kembali pada tugas dan masalah semula dengan menggunakan
analogi-analogi terakhir atau dengan menggunakan seluruh pengalaman sinektik.
Penerapan synectics dalam pembelajaran menurut Joyce
(1992) seharusnya mengandungi tiga prinsip yaitu:
a.
Prinsip reaksi
merujuk kepada respon guru terhadap pelajarnya.
Diharapkan
guru menerima semua respon pelajar dalam apapun bentuknya dan menjamin bahawa
hal tersebut seolah-olah merupakan ungkapan kreatif pelajar, akan tetapi
melalui pertanyaan evokatif, guru dapat merangsang lebih lanjut kemampuan
berfikir kreatifnya;
b.
sistem sosial
mendeskripsikan peranan dan hubungan antara guru dan pelajar serta
mendeskripsikan jenis norma yang disarankan. Sistem sosial
dalam synectics terstruktur secara sederhana, yang dalam praktiknya
berupa guru mengawal dan mengarahkan pelajar untuk memecahkan masalah melalui
analogi, mengembangkan kebebasan intelektual, dan memberikan hadiah yang
nantinya akan menjadi kepuasan dalaman pelajar yang diperoleh dari pengalaman
belajar;
c.
Sistem pendukung
mengacu pada keperluan yang diperlukan untuk implementasi. Sistem pendukung
dalam kegiatan synectics terdiri dari pengalaman guru tentang kegiatan
synectics, lingkungan yang nyaman, makmal, atau sumber belajar lainnya.
4.
Sistem-sistem konseptual
Dalam pandangan teori sistem konseptual mendeskripsikan
manusia menurut struktur konsep-konsep yang mereka gunakan untuk mengolah
informasi mengenai dunia secara luas. Cenderung memiliki pandangan dikotomis
mengenai hal-hal yang bersifat tabu, dan cenderung emosional dalam menyampaikan
pandangan-pandangannya. Mereka cenderung menolak informasi yang tidak sesuai
dengan konsep mereka, atau bahkan mengubahnya agar bisa cocok dengan konsep
milik mereka sendiri. Sehingga mereka sering kali memandang orang-orang dan
peristiwa-peristiwa menurut persepsi ’benar’ atau ‘salah’. Sedangkan konsep
yang telah ada pada umumnya memang telah dilestarikan.
Dalam tingkat perkembangan yang lebih tinggi, orang
mengembangkan kemampuan yang lebih hebat dalam memadukan informasi baru, tdak
berpikiran miopi, dan bisa bertoleransi dengan pandangan lain yang berbeda yang
lebih baik, selain itu, sturktur konseptual mereka dipermak sedemikian rupa
dengan melakukan regenerasi; konsep yang telah lama dianggap asing sedangkan
konsep yang baru dikembangkan. Misalkan saja, kita andaikan bahwa masing-
masing individu dalam tingkatan perkembangan yang lebih rendah dan lebih tinggi
tengah berada dalam lingkungan kebudayaan yang asing. Mereka menggenggam
dompetnya, seakan menjaga dari komplotan pribumi yang tidak jujur dan bertangan
kotor.
Orang yang telah berada dalam level pengembangan yang lebih tinggi tertarik
oleh pandangan-pandangan, bunyi-bunyi, dan aroma- aroma yang baru. Ada hubungan
yang cukup susbstansial antara perkembangan konseptual dan keadaan pertumbuhan
guru yang kami amati. Omnivor dalam suatu proses pencarian yang terus menerus untuk
mencari cara-cara yang lebih produktif untuk mengolah informasi dan mengasilkan
struktur konseptual yang kompleks. Suatu perubahan untuk menuju orientasi yang
lebih produktif melibatkan perubahan struktural- yakni kemampuan struktur yang
lebih kompleks dalam menganalisis manusia dan kejadian-kejadian dari berbagai
sudut pandang dan kemampuan untuk mengasimilasi informasi baru dan
mengakomodasikannya.
5.
Model Pertemuan kelas (Classroom Meeting)
Pada 1969, William glasser
merekomendasikan pelaksanaan classroom
meeting sebagai salah satu bagian dari program yang bertajuk “reality therapy”.
Program ini dirancang untuk membantu siswa yang punya masalah dalam
perilakunya sehari-hari untuk belajar bertindak dengan cara yang lebih
bertanggung jawab. Belajar juga percaya
bahwa jika siswa terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran dan berusaha
mengembangkan relasinya dengan sekolah, mereka akan mampu
bertanggung jawab dalam proses belajar mengajar. Untuk itulah Glasser kemudian meminta
sekolah untuk menerapkan model pengajaran classroom
meeting. Dalam pengajaran
ini, suasananya berlangsung positif.
Guru tidak boleh menghakimi siapapun dalam interaksinya dengan siswa.
Para siswa juga didorong untuk secara konstruktif berhadapan dengan siswa
lain,
namun dengan cara yang respek dan
hormat-menghormati. Tentu saja sangat
sulit menghindari suara-suara negatif dalam proses pelaksanaannya,
tetapi seiring dengan waktu dan kebiasaan,
program pengajaran ini bisa menjadi
produktif bagi pengembangan sosio-emosional siswa dalam
memecahkan suatu masalah.
a.
Sintak
Tahap 1 : Desain ruangan
a)
Guru meminta siswa untuk duduk melingkar titik yang dilakukan untuk
mendorong partisipasi dan memungkinkan semua kelompok bisa melihat kelompok
yang lain.
b)
Guru bisa mencari variasi lain dalam merancang produk posisi duduk siswanya.
Intinya siswa harus ditempatkan dalam pola
yang benar-benar produktif.
Tahap 2 : Alokasi waktu
a)
Guru mengalokasikan waktu sekitar 10 hingga 20 menit untuk siswa-siswa
muda dan 30 hingga 45 menit
untuk siswa dewasa. Pada tahap ini, diskusi antar siswa tidak boleh melebihi waktu yang telah ditentukan.
Aturan soal waktu ini bisa mencegah mereka
untuk melangkahi tanggung jawabnya sendiri dan hak orang lain untuk berbicara.
Tahap 3 : Implementasi
a)
Guru membuka meeting dengan meminta siswa mendiskusikan topik seputar
perilaku emosi, atau masalah-masalah
yang terkait titik aturan-aturan yang berkaitan dengan bahasa kasar,
komentar-komentar yang keras,
atau hal-hal lain seharusnya sudah disepakati bersama siswa. Aturan mengenai kesepakatan berbicara juga penting. Jika ada seseorang siswa yang memonopoli percakapan guru sebaiknya segera
memanggil siswa lain untuk berbicara atau bertanya pada siswa lain apakah
mereka melihat bahwa siswa tadi sudah memonopolisasi pembicaraan. Guru membimbing siswa menjadi solusi permasalahan yang diangkat.
Tahap
4 : Rekognisi
a)
Guru memberi penghargaan atas partisipasi siswa yang luar biasa dalam
pelaksanaan classroom meeting.
b.
Sistem Sosial
Dalam model
pengajaran ini, guru harus
mendorong agar diskusi bisa sampai pada solusi-solusi yang tidak menyudutkan atau menghakimi siapapun. Intinya, siswa harus didorong untuk mencari pemecahan,
bukan celaan. Glasser percaya bahwa sebagian besar sekolah tidak bisa memenuhi beberapa
kebutuhan siswa dalam pelaksanaan kurikulum ini. Setidak-tidaknya, ada empat kebutuhan yang belum terpenuhi antara lain :
kebutuhan akan rasa memiliki
(sense of belonging), kebutuhan akan kontrol diri atau (self control), kebutuhan akan kebebasan (sense of Freedom)
dan kebutuhan akan kebahagiaan (sense of enjoyment). Model classroom
meeting didesain salah satunya
untuk memenuhi kebutuhan kebutuhan tersebut.
c.
Peran/Tugas Guru
Glasser percaya bahwa guru
memegang peranan dominan dalam menjaga efektivitas disiplin siswa.
Menurut Glasser, ada beberapa tugas penting seorang guru dalam clasroom meeting, antara lain: menekankan tanggung jawab, membuat aturan-aturan yang menuntun pada kesuksesan,
tidak menghakimi, menghargai solusi dan pendapat siswa, menawarkan alternatif alternatif yang sesuai, konsisten, dan melakukan review berkelanjutan. Singkatnya dalam
classroom meeting, peran guru adalah
fasilitator siswa yang dapat membimbing mereka menuju pemecahan masalah yang
efektif.
d.
Sistem Dukungan
Konteks ruang kelas
harus disusun sedemikian rupa agar memungkinkan siswa bisa berhadapan dan
saling berbagi opini untuk mencapai solusi atas permasalahan tertentu.
Desain kelas yang berbentuk lingkaran bisa
menjadi alternatif.
e. Pengaruh
Beberapa pengaruh
yang bisa dirasakan oleh guru dalam pelaksanaan classroom
meeting ini antara lain
: rasa memiliki dalam diri siswa,
motivasi siswa untuk bekerja atas nama
kelompok, sharing bantuan dari siswa yang lebih baik kepada siswa yang kurang
pandai, dan kecenderungan siswa untuk tidak terlalu bergantung pada guru tetapi
lebih mengandalkan kerjasama dan bantuan dari teman-teman nya untuk mencapai
solusi atau suatu permasalahan tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Huda, Miftahul. 2014. Model-model Pengajaran dan Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Sanjaya, Wina. 2008. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan.
Jakarta: Kencana
Uno, Hamzah B.(2008). Model Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara
Sudjana, Nana. (2009). Teknologi Pengajaran. Bandung: Sinar
Baru
Ali, Muhammad. (2000). Guru Dalam Proses
Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru